![]() |
| Pertemuan Karang Taruna Kecamatan Bersama IPSI, RN di Lokasi Sedayulawas |
Brondong – Di sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi aroma kopi tubruk, para pemuda duduk berjejer sambil menatap layar proyektor yang menampilkan tulisan besar: “Permensos Nomor 9 Tahun 2025.” Sesekali terdengar bisik-bisik, sebagian terlihat mengernyit, sebagian lain bersemangat. Hari itu, Kementerian Sosial resmi mengumumkan regulasi baru yang mengubah wajah Karang Taruna. Tidak lagi sekadar wadah kumpul anak muda, melainkan organisasi sosial yang diikat oleh aturan tegas, prinsip luhur, dan mekanisme kepemimpinan yang jauh lebih ketat.
“Ini sejarah baru bagi kita,” ujar Saifullah Yusuf, Menteri Sosial RI, dengan nada penuh keyakinan saat menandatangani peraturan itu. “Karang Taruna bukan hanya tentang kegiatan 17 Agustusan atau turnamen futsal. Mulai sekarang, ia adalah benteng sosial bangsa.”
Suasana yang semula hening pecah menjadi tepuk tangan. Namun, di balik tepukan itu, terselip beragam rasa: gembira, bingung, bahkan cemas.
Definisi Baru yang Mengguncang
Salah satu perubahan paling mendasar dari Permensos 9/2025 adalah definisi Karang Taruna. Jika dulu ia dipahami sebagai organisasi swadaya masyarakat yang berkembang atas dasar kesadaran pemuda, kini definisinya dipersempit sekaligus diperkuat:
“Karang Taruna adalah wadah bagi sumber daya manusia dari kelompok generasi muda yang melaksanakan kegiatan penyelenggaraan di bidang sosial.”
Bagi Arifin (36), Ketua Karang Taruna di sebuah desa pesisir Lamongan, definisi ini seperti tamparan.
“Berarti kita tidak bisa lagi sembarangan bikin program. Harus jelas sosialnya. Bukan sekadar acara musik atau lomba makan kerupuk,” katanya sambil tersenyum getir.
Namun, di sisi lain, definisi ini membuat organisasi itu punya posisi strategis sebagai bagian dari Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS). “Artinya, Karang Taruna kini sejajar dengan relawan sosial lain yang mendapat pengakuan formal dari negara,” jelas Sri Lestari, pejabat Kemensos yang turut menyusun regulasi ini.
2. Prinsip-Prinsip Baru: Dari Kepahlawanan hingga Nonpartisan
Jika dulu prinsip Karang Taruna hanya sebatas jiwa sosial, kemandirian, dan kebersamaan, kini ada tambahan nilai yang kental dengan nuansa ideologis: kepahlawanan, kejuangan, kesetiakawanan sosial, serta kearifan lokal
Seolah-olah, negara ingin Karang Taruna menjadi cermin perjuangan bangsa.
“Bayangkan, generasi muda kita belajar dari spirit pahlawan. Tidak hanya bermain gadget, tapi benar-benar turun ke masyarakat,” kata Pak Darto, seorang pembina Karang Taruna tingkat kecamatan.
Namun, prinsip nonpartisan juga ditegaskan. “Artinya jangan coba-coba dipakai jadi mesin politik. Kalau sampai ada yang nyemplung ke partai, ya jelas melanggar,” imbuhnya dengan nada serius.
3. Usia Pengurus: Tak Lagi untuk Semua Anak Muda
Inilah bagian yang paling ramai diperdebatkan. Usia minimal pengurus kini disesuaikan:
-
Nasional: minimal 30 tahun
-
Provinsi: minimal 25 tahun
-
Kabupaten/Kota: minimal 20 tahun
-
Kecamatan: minimal 17 tahun
Bagi sebagian orang, aturan ini dianggap mendewasakan organisasi. Tapi bagi yang muda belia, terasa seperti penghalang.
“Lho, kalau saya 18 tahun dan sudah aktif menggerakkan warga, masa nggak bisa jadi ketua kabupaten?” keluh Fadhil pemuda bertempat tinggal di Geneng Indah, matanya berbinar menahan emosi.
Dialog-dialog semacam ini bergaung di banyak daerah. Ada rasa bangga karena kualitas kepemimpinan dipertajam, tapi juga ada rasa kecewa karena peluang bagi anak muda belia kian sempit.
4. Mekanisme Pemilihan: Lebih Rumit, Lebih Sahih
Permensos 9/2025 menambahkan aturan detail tentang Temu Karya di berbagai tingkatan
-
Di tingkat kecamatan, Temu Karya diselenggarakan oleh pengurus kecamatan dengan persetujuan kabupaten/kota.
-
Di tingkat kabupaten/kota, persetujuan datang dari provinsi.
-
Di tingkat provinsi, harus ada restu dari pengurus nasional.
-
Sedangkan di tingkat nasional, kewenangan penuh ada pada Menteri Sosial.
“Ini kayak sistem pemilu berlapis,” kata Ayu (27), sekretaris Karang Taruna provinsi. “Ribet, tapi sekaligus bikin kepengurusan lebih sah dan sulit diganggu.”
5. Majelis Pertimbangan: Otonomi di Tangan Ketua Nasional
Perubahan lain yang mengejutkan adalah mekanisme pemilihan Majelis Pertimbangan Karang Taruna (MPKT). Kini, MPKT tingkat nasional dipilih langsung oleh Ketua Pengurus Nasional Karang Taruna (PNKT)
Bagi sebagian orang, ini berarti otonomi lebih besar. Namun, bagi pengamat kritis, hal ini berpotensi menimbulkan oligarki.
“Bayangkan, semua majelis ditentukan satu orang ketua. Kalau salah pilih, bisa kacau,” ucap Dr. Hendra Kusuma, pakar kebijakan publik dari Universitas Airlangga.
6. Struktur Pembina yang Diperjelas
Permensos baru menghapus keruwetan pembina. Kini pembina umum adalah Menteri Dalam Negeri (nasional), gubernur (provinsi), bupati/wali kota (kabupaten/kota), dan camat (kecamatan). Sedangkan pembina teknis ada di tangan Menteri Sosial, Menteri Desa, dan Menpora.
Bagi Bu Camat di Brondong, aturan ini jelas. “Akhirnya jelas siapa membina siapa. Selama ini sering tumpang tindih, sampai kita bingung siapa yang harus tanda tangan.”
7. Tanggung Jawab Baru: Dari Menteri hingga Pengurus Desa.Kelurahan
Perubahan juga terjadi pada distribusi tanggung jawab
Materi Sosialisasi Permensos 2025
-
Menteri Sosial: menetapkan standar nasional, melakukan sosialisasi, pemantauan, hingga alokasi anggaran.
-
Gubernur: mengukuhkan kepengurusan provinsi, membina, serta melaporkan data Karang Taruna desa ke pusat.
-
Bupati/Wali Kota: membina Karang Taruna hingga tingkat desa, menyediakan anggaran, dan melibatkan mereka dalam program pembangunan daerah.
-
Pengurus Karang Taruna: wajib melaksanakan pedoman operasional, melakukan pelaporan, memperkuat kelembagaan, dan mendukung program pemerintah.
“Kalau dulu pengurus cuma mikirin lomba, sekarang harus bikin laporan. Serius, kayak kerja kantoran,” ujar Ayu sambil tertawa getir.
Bagi sebagian pemuda desa, regulasi ini terasa seperti pagar tinggi yang membatasi ruang bermain. Namun, bagi yang lain, ini seperti jalan tol menuju profesionalisme.
Di satu sisi, anak-anak muda yang terbiasa bebas membuat kegiatan merasa terkekang. Di sisi lain, pemerintah melihat Karang Taruna sebagai partner strategis dalam program kesejahteraan sosial.
Kontras ini memunculkan cerita-cerita dramatis: dari pemuda desa yang merasa kehilangan panggung, hingga ketua provinsi yang bangga karena akhirnya organisasi mereka diakui sejajar dengan lembaga resmi negara.
Malam itu, setelah sosialisasi selesai, Rizky masih duduk terpaku di kursi plastik. Tangannya menggenggam buku sosialisasi Permensos 9/2025 yang baru dibagikan. Ia membaca berulang kali kalimat: “Karang Taruna adalah wadah bagi sumber daya manusia dari kelompok generasi muda yang melaksanakan kegiatan penyelenggaraan di bidang sosial.”
Matanya menerawang jauh. Ia sadar, hari-hari Karang Taruna yang hanya diisi lomba balap karung sudah lewat. Tantangan baru menanti: laporan, rapat resmi, aturan usia, bahkan pengawasan pemerintah.
“Apakah kita siap?” bisiknya lirih.
Pertanyaan itu menggantung di udara, menyisakan rasa penasaran yang belum terjawab. Karang Taruna kini berdiri di persimpangan antara tradisi lama yang meriah dan era baru yang penuh birokrasi.
Dan jawaban atas pertanyaan itu… masih menunggu babak selanjutnya. (Muhammad Zainul Arifin)

Posting Komentar untuk "Permensos Nomor 9 Tahun 2025: Babak Baru Karang Taruna Indonesia"