![]() |
Koran harian Warta Kota : Pak Jokowi Tolong Bayar Upah 3 Bulan |
Di tengah kota metropolitan yang berkilau, ada satu kelompok orang yang hampir selalu terlupakan: petugas kebersihan. Mereka adalah para pahlawan yang bekerja keras tanpa pamrih, namun sering kali nasib mereka terabaikan. Bayangkan saja, pada awal tahun 2014, gaji mereka tidak dibayar selama tiga bulan penuh. Pada saat itu, Wakil Gubernur Ahok yang turun tangan menegur Kepala Dinas Kebersihan, bukan Gubernur Jakarta, Joko Widodo, yang seharusnya memegang kendali tertinggi dalam manajemen kota. Sebuah pemandangan yang kontras dengan janji-janji manis yang sering kali dilontarkan oleh pejabat publik.
Kisah petugas kebersihan Jakarta ini bukan hanya soal angka-angka yang terabaikan, tetapi lebih kepada keadilan sosial yang dijanjikan namun tidak kunjung tiba. Para pekerja ini dijanjikan akan mendapatkan upah yang sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP), namun kenyataannya mereka hanya diberikan Rp 70.000 per hari. Jika dihitung, dalam 26 hari kerja, mereka hanya menerima Rp 1,8 juta. Itupun belum tentu dibayar tepat waktu. Angka yang jauh dari kata layak untuk para pejuang kebersihan kota yang seharusnya dihargai lebih.
Cerita ini mengingatkan kita pada kisah-kisah di negara-negara maju, di mana pekerja kebersihan atau pekerja lapangan lainnya sering kali dihargai dengan upah yang lebih sesuai dengan kerja keras mereka. Di Jepang, misalnya, pekerja kebersihan sering kali diberikan pelatihan dan fasilitas yang layak, dan mereka dihargai dengan pemberian upah yang lebih tinggi dan penghormatan dari masyarakat. Indonesia, meskipun memiliki potensi yang besar, terkadang terlena dalam janji-janji yang manis, namun realita seringkali jauh berbeda.
Di balik segala janji politik yang sering kali berhamburan menjelang pemilihan umum, kenyataannya masih banyak pihak yang terabaikan. Para pekerja ini adalah cermin dari ketidakadilan sosial yang ada di Indonesia. Janji untuk memperjuangkan hak rakyat kecil seringkali tersingkir oleh dinamika politik dan birokrasi yang berbelit. Jika kita lihat lebih dekat, masalah ini bukan hanya soal gaji, tetapi juga tentang bagaimana pemerintah melihat para pekerja yang sering kali diabaikan dalam sistem sosial ekonomi yang lebih besar.
Pendidikan, kesehatan, hingga kesejahteraan sosial adalah isu yang sering digaungkan dalam pidato-pidato politik, tetapi ketika realitas di lapangan berbeda, maka kita harus bertanya-tanya: apakah pemerintah benar-benar mendengar keluhan wong cilik? Ataukah kita hanya mendengar janji yang menguap begitu saja setelah pemilu selesai?
Perspektif dari bidang ekonomi pun memberikan gambaran yang lebih luas. Di negara dengan ekonomi maju, ketidaksetaraan ini tidak dibiarkan berkembang begitu saja. Pekerja kebersihan di banyak negara diberi fasilitas dan insentif yang membuat mereka merasa dihargai, karena mereka tahu bahwa kerja keras mereka adalah bagian dari mesin yang menjaga kelangsungan kota. Namun, di Jakarta, kita melihat sebaliknya. Walaupun kota ini dipenuhi dengan kemewahan dan pembangunan, masih banyak celah yang memperlihatkan ketidakadilan bagi mereka yang justru menjaga kebersihan dan keteraturan kota.
Pada akhirnya, cerita ini adalah tentang ketidaksetaraan yang ada di sekitar kita. Janji manis yang dilontarkan oleh pejabat publik sering kali berubah menjadi kenyataan pahit bagi mereka yang terpinggirkan. Dan, meskipun dunia terus berkembang, masih banyak hal yang perlu diperbaiki agar janji tersebut bisa menjadi kenyataan bagi semua orang, tidak hanya bagi segelintir orang yang ada di puncak kekuasaan. Sebuah panggilan untuk kita semua, untuk lebih menghargai dan memperjuangkan keadilan bagi mereka yang sudah lama terlupakan.
Dalam konteks yang lebih luas, ini bukan hanya masalah Jakarta. Ini adalah cermin dari ketimpangan yang ada di banyak tempat di dunia, dan kita harus berani bertanya, sejauh mana kita bisa berharap pada janji-janji yang selalu terdengar manis namun tetap jauh dari realita? (Muhammad Zainul Arifin)
Post a Comment for "Jokowi dan Janji yang Tak Tersampaikan: Kisah Wong Cilik yang Terabaikan"