![]() |
Gambar Ilustrasi Koperasi Merah Putih Prabowo Subianto |
Angin laut Brondong biasanya sejuk di pagi hari. Tapi entah kenapa, sejak tiga hari terakhir suasana terasa gerah. Bukan karena cuaca. Tapi karena kursi. Kursi yang belum ada sandarannya, bahkan belum ada kakinya. Tapi sudah diperebutkan ramai-ramai.
Kursi pengurus dan pengawas Koperasi Merah Putih.
Koperasi itu baru mau berdiri. Di tingkat kelurahan. Di Brondong. Tapi sudah terasa seperti perebutan jabatan menteri. Gagasan awalnya datang dari pusat: program koperasi strategis desa/kelurahan yang jadi andalan Presiden Prabowo. Sebuah niat besar untuk membangun kemandirian ekonomi dari bawah.
Dan seperti biasa: setiap gagasan baik, selalu membawa dua sisi. Semangat gotong royong. Dan... peluang jabatan.
“Pokoknya saya harus jadi ketua pengurus setidaknya jadi bagian pengurus,” kata salah satu tokoh lokal yang tak bisa saya sebut identitasnya. Ia bicara bukan ke saya, tapi ke kawan saya di pinggir warkop Suaranya tidak pelan.
Lalu muncul yang lain: “Saya sudah pengalaman urus BUMDes/Kel. Masak saya hanya jadi pengawas?”
Yang satu bawa nama keluarga. Yang lain bawa nama ormas. Ada juga bawa hubungan kedekatan kantor. Ada yang bawa kartu partai, Dan ada juga bawa rekom, Bahkan ada yang bawa proposal panen raya satu tahun lalu.
Lucu, sekaligus sedih itulah demokrasi ini.
Saya ingat waktu pertama kali gagasan Koperasi Merah Putih ini dilontarkan oleh Dinas Koperasi. Tujuannya mulia: koperasi berbasis komunitas, dikelola transparan, dimiliki oleh warga. Bukan koperasi papan nama. Bukan koperasi musiman hanya demi program bantuan.
Dan memang, bantuan itu ada. Menurut proposal awal, koperasi ini mendapat stimulan dana awal sebesar Rp100.000.000 dari APBN melalui program pemberdayaan ekonomi rakyat. Dana itu dibagi untuk beberapa pos:
- Modal simpan pinjam anggota: Rp40 juta
- Pengadaan alat produksi olahan (cabai, ikan): Rp30 juta
- Pelatihan & peningkatan kapasitas: Rp15 juta
- Biaya operasional & administrasi awal: Rp10 juta
- Cadangan kas & darurat koperasi: Rp5 juta
Belum termasuk dana tambahan dari kontribusi anggota dan CSR lokal yang masih dijajaki. Anggaran yang tampaknya kecil, tapi cukup menggoda.
Tapi manusia memang mahluk unik. Kadang terlalu cepat menghitung untung, sebelum menanam.
Padahal koperasinya sendiri belum punya gedung. belum punya daftar nama 50 anggota. belum buka rekening kolektif. Belum merancang AD/ART. Tapi yang diperebutkan sudah seperti posisi direktur bank.
“Kalau begini caranya, nanti yang duduk bukan orang yang paham koperasi. Tapi yang paham cara manuver,” celetuk Bang Jek sapaan akrabnya, seorang pemuda yang ikut rapat pembentukan sabtu malam lalu disertai hujan deras.
Saya tersenyum kecut.
Sebab benar juga. Jangan sampai koperasi ini justru terjebak penyakit demokrasi yang belum sembuh: transaksional, elitis, dan penuh kompromi kosong.
Harusnya koperasi ini jadi tempat orang belajar tanggung jawab, bukan ajang rebutan kekuasaan mini. Harusnya jadi wadah kejujuran, bukan drama lobi dan gengsi.
Di satu sisi, saya maklum. Warga Brondong mulai sadar pentingnya wadah ekonomi bersama. Tapi semangat itu seharusnya diisi dengan kompetensi, bukan kompetisi kosong.
![]() |
Spanduk Musyawarah Kelurahan Khusus Kelurahan Brondong |
Tugas berat menanti panitia pemilihan pengurus dan pengawas dimana ada 1. H. Darwoto 2.Efendi 3. Khamid. Apakah mereka bisa memilih berdasarkan integritas dan kemampuan, bukan berdasarkan suara terbanyak dari “gerombolan kecil”?
Mengutip kata bijak Bapak Supriyanto Pegawai Kantor Kelurahan yang menulis di Group WA Forkom: "Dalam kontestasi pemilihan itu hanya ada dua point penting yang perlu d perhatikan. 1.menang & 2.kalah. jadi calon harus siap yang nomor 2. Kalau bab masalah menang Masalah gampang, yang paling perlu d siapkan mentalnya yaitu harus siap meneriman kekalahan. sebab pada dasarnya kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. #salam satu rasa Satu jiwa demi 🇮🇩
Saya berharap koperasi ini tetap memakai nama Merah Putih bukan karena warnanya nasional, tapi karena semangatnya tulus: merah untuk semangat membangun, putih untuk hati yang bersih.
Dan kepada siapa pun nanti yang terpilih jadi pengurus dan pengawas, ingat satu hal:
Koperasi bukan panggung. Ia ladang. Siapa yang mau kotor tangan, ia yang pantas memimpin.
Sore ini angin mulai kembali sejuk. Tapi cerita tentang kursi panas itu belum reda. Saya hanya ingin duduk di warung Samudra Kopi yang dikelola Karang Taruna Karya Samudra Aset Pemerintah Kabupaten Lamongan tersebut, menyimak dari jauh. Sambil menyeruput kopi hitam yang kental seharga 6.000 itu dan membayangkan koperasi ini benar-benar jadi milik rakyat bukan milik para pengatur kursi. (Muhammad Zainul Arifin)
Post a Comment for "Kursi Panas di Brondong: Koperasi Belum Berdiri, Jabatan Sudah Diperebutkan"