Ketika Warga Menjahit Harapan Lewat Koperasi Merah Putih: Sebuah Cerita dari Brondong

 

Musyawarah Kelurahan Khusus Pembentukan Koperasi

CoretanPolitik - Pagi itu, udara di Kelurahan Brondong lebih hangat dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena sebuah pertemuan yang memecah kebekuan: warga dari berbagai lapisan, mulai dari tokoh agama, pemuda, hingga ibu rumah tangga, duduk melingkar dalam satu ruangan. Seperti kain yang dijahit dari berbagai potongan berbeda, mereka menyulam satu harapan hadirnya koperasi yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil.

Musyawarah Kelurahan Khusus (muskelsus) untuk membentuk Koperasi Merah Putih (KoKel MP) bukan sekadar rapat formal. Ia adalah pertaruhan akan mimpi ekonomi lokal yang selama ini mengambang seperti perahu nelayan di tengah ombak tak menentu.

Perwakilan masyarakat Kelurahan Brondong ketika menyampaikan pendapat  

Di tengah forum, Lurah Brondong Moh. Riandol, SE berdiri dengan suara yang tenang namun mantap. “Kita ingin koperasi ini milik semua, bukan segelintir orang atau golongan,” ujarnya. Pernyataan itu tak sekadar retorika. Dalam ruangan itu hadir pula perwakilan dari organisasi besar seperti Muhammadiyah, 'Aisyiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Fatayat, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Ikatan Pencak SIlat Indonesia (IPSI), Bhabinsa, Bhabinkamtibmas, Satgas Kelurahan, Pendamping Desa, MUI, DMI, PLT Camat Ibu Nurul, Kasi Pemerintahan Kecamatan Bpk Suwanji, dan para ketua RT/RW.

Yang menarik, bukan hanya satu ranting tiap organisasi yang datang. Bahkan ranting-ranting seperti Geneng Jompong, Astana dan Tegalsari yang secara administratif berada dalam lingkup Kelurahan Brondong ikut hadir. Ini bukan pelanggaran, tapi potret demokrasi yang kadang kelewat “royal”.

“Kalau semua ranting diberi suara, bagaimana dengan organisasi yang hanya punya satu?” keluh seorang tokoh muda yang enggan disebut namanya. Sentilan itu tak salah, tapi suasana tetap adem. Tak ada keributan, tak ada adu suara. Semua berjalan seperti orkestra yang sedang mencari nada dasar.

Di balik harmoninya, tak semua mulus. Rumor berembus: nama-nama calon pengurus dan pengawas koperasi sudah “diatur” sebelum forum dimulai. “Jangan-jangan ini cuma bagi-bagi kursi,” bisik salah satu peserta. Tapi di forum resmi, tak ada yang menyuarakan protes secara terbuka. Keputusan tetap diambil secara mufakat.

Perasaan ini tak sepenuhnya mengada-ada. Dalam konteks sosial kita, pembentukan lembaga sering kali terselip kepentingan. Namun dalam hal ini, semua unsur merasa “diwakili”. Ada perwakilan dari Muhammadiyah, 'Aisyiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Fatayat, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Ikatan Pencak SIlat Indonesia (IPSI), Bhabinsa, Bhabinkamtibmas, Satgas Kelurahan, Pendamping Desa, MUI, DMI, PLT Camat Ibu Nurul, Kasi Pemerintahan Kecamatan Bpk Suwanji, hingga para ketua RT/RW. Apakah ini kompromi sehat, atau kompromi penuh siasat?

Lurah Brondong dengan Perangkat memasukan Surat Suara

Di tengah tantangan itu, satu hal menjadi penyelamat: kesadaran kolektif. Lurah Brondong memilih jalan aman melibatkan semua unsur dan menghindari intervensi. Ini berbeda dengan daerah tetangga sebelah timur yakni Desa Kandang Semangkon, Kecamatan Paciran, di mana pembentukan Koperasi Merah Putih justru memicu konflik. Intervensi kepala desa dinilai menyimpang dari pedoman, dan warga menuntut musyawarah diulang.

Perbandingan ini penting. Brondong membuktikan bahwa inklusivitas dan keterbukaan bisa jadi benteng dari kegaduhan sosial. Bahwa kekuasaan yang dilepas justru menciptakan ketenangan.

Secara teknis, Koperasi Merah Putih dirancang sebagai koperasi serba usaha yang menjadi tulang punggung ekonomi warga. Program ini bagian dari kebijakan nasional Presiden Prabowo Subianto, untuk memandirikan desa dan kelurahan lewat model koperasi modern.

Jenis usahanya bisa beragam dari: Cold Storage , Pupuk, LPG, SPBU Nelayan, Toserba, Distribusi Hasil Perikanan dan Pertanian.Dll. Koperasi bukan hanya tempat menabung, tapi ruang hidup bersama untuk menciptakan nilai ekonomi dari kebersamaan.

Setiap anggota punya hak suara. Tak ada pemilik tunggal, tak ada konglomerat dadakan. Semua dimulai dari semangat gotong royong.

Fenomena koperasi rakyat bukan hanya milik Indonesia. Di Jepang, ada Seikatsu Club yang menjadi raksasa koperasi berbasis rumah tangga. Di Jerman, koperasi pertanian mendominasi distribusi pangan. Sementara di Kenya, koperasi simpan pinjam menjadi jaring pengaman finansial rakyat miskin.

Namun di Indonesia, koperasi masih dianggap “pelengkap penderita”. Masyarakat kadang skeptis karena trauma masa lalu: koperasi dijadikan alat elite atau macet di tengah jalan.

Program Koperasi Merah Putih mencoba menambal luka ini. Tapi tanpa pengawasan dan komitmen jangka panjang, koperasi bisa saja bernasib sama: hidup sebentar, lalu mati perlahan.

Dalam perjalanan ini, ada isu-isu yang mengintai: bagaimana peran perempuan dalam koperasi ini? Apakah pengurus didominasi laki-laki saja? Apakah pemuda punya ruang bicara, atau hanya jadi penggembira?

Belum lagi soal transparansi anggaran, sistem pelaporan, hingga kesetaraan antaranggota. Tanpa mekanisme kontrol sosial yang kuat, koperasi bisa jadi alat kekuasaan baru dalam balutan rakyat.

Pengurus Terpilih sesi foto dari kiri : Bhabinsa, Seklur, Lurah, PLT Camat dan Bhabinkamtibnas

“Kalau koperasi ini benar-benar membantu ibu-ibu seperti saya jualan keripik, saya dukung terus,” kata Bu Nur, pedagang keliling. Lain lagi dengan Pak Ji, pekerja nelayan. “Asal pengurusnya gak cuma duduk manis, kita siap bantu,” ucapnya.

Dari suara-suara inilah harapan itu tumbuh. Bukan dari pidato pejabat atau dokumen bersegel, tapi dari dapur, dari dermaga, dari warung kopi tempat warga mengobrol.

Pengawas dan Pengurus Terpilih Koperasi Merah Putih Kelurahan Brondong

Membentuk koperasi ibarat menanam pohon. Ia butuh lahan yang bersih dari ego, bibit yang sehat dari niat, dan air komitmen yang terus mengalir. Kelurahan Brondong sudah menanam bibit itu. Apakah ia akan tumbuh dan berbuah, tergantung pada pengurusnya… dan kita semua yang mengawalnya.

Kini warga menanti, bukan sekadar janji atau papan nama, tapi aksi nyata: harga pupuk lebih murah, hasil panen lebih laku, harga ikan stabil atau bantuan modal yang tak mencekik.

Karena sesungguhnya, koperasi adalah jalan sunyi menuju kedaulatan ekonomi rakyat. Dan Brondong, telah memilih untuk berjalan di jalan itu. (Muhammad Zainul Arifin)

Post a Comment for "Ketika Warga Menjahit Harapan Lewat Koperasi Merah Putih: Sebuah Cerita dari Brondong"