![]() |
Kondisi Jalan Raya Deandles di Kelurahan Brondong Saat Sore Hari |
CoretanPolitik - Ketika truk-truk pengangkut ikan melaju di sepanjang pesisir utara Lamongan, deru mesinnya seolah menggantikan jeritan masa lalu. Di balik aspal yang menghitam oleh panas matahari dan roda kendaraan berat, tersembunyi kisah luka yang tak pernah benar-benar hilang: cerita tentang Jalan Raya Daendels.
Di wilayah Kelurahan Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, jalan ini tak hanya sekadar jalur transportasi. Ia adalah jalur waktu, yang membawa masyarakat setempat melintasi dua abad perjalanan dari masa kolonial penuh penderitaan hingga era modern yang dipenuhi geliat ekonomi pesisir. Artikel ini menelusuri transformasi Jalan Raya Daendels, dari simbol kerja paksa kolonial menjadi urat nadi kehidupan nelayan Brondong.
Jalan yang Dilahirkan oleh Ambisi dan Air Mata
![]() |
jalur pos sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer hingga Panarukan |
Awal mula Jalan Raya Daendels tidak dapat dipisahkan dari ambisi politik dan militer Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Tiba di Hindia Belanda pada 1808, ia diutus Napoleon Bonaparte untuk memperkuat pertahanan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Solusinya: membangun jalur pos sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer hingga Panarukan.
Dalam waktu singkat, proyek besar itu digarap dengan tenaga rakyat lokal melalui kerja paksa atau rodi. Mereka menggali, meratakan, dan membangun tanpa bayaran, hanya diberi sedikit makanan dan pengawasan militer. Di antara ratusan ribu korban, ada pula kisah-kisah dari masyarakat pesisir utara Jawa, termasuk Brondong yang kini menjadi titik vital jalur logistik hasil laut Jawa Timur.
Dari Jalan Kematian Menjadi Jalan Kehidupan
![]() |
leluhur kita sedang kerja rodi pembuatan jalan raya Deandles |
Transformasi Jalan Raya Daendels di Brondong mencerminkan paradoks sejarah. Jalan yang dibangun dengan penderitaan kini menjadi tumpuan ekonomi masyarakat. Di sepanjang jalur itu, terlihat puluhan kendaraan besar lalu lalang membawa hasil tangkapan dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong yang sekarang berubah menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), salah satu yang terbesar di Indonesia.
Bagi nelayan, jalan ini adalah penghubung ke pasar. Bagi sopir truk dan mobil bak, ini adalah jalur penghidupan. Bagi petani adalah penghubung penjualan hasil panen antar kabupaten. Bagi warga Brondong, jalan ini adalah bagian dari rutinitas sehari-hari. Namun bagi sejarawan dan pengamat sosial, ini adalah pengingat bahwa infrastruktur tak pernah netral. Ia bisa menjadi alat penindasan, namun juga bisa menjadi ruang pembebasan jika dikembalikan kepada rakyat.
Perspektif Lintas Negara: Jalan Kolonial di Dunia
Fenomena jalan kolonial bukan milik Indonesia semata. Di Afrika, Jalan Cape to Cairo pernah dirancang oleh kolonial Inggris untuk menyatukan wilayah jajahan mereka. Di India, British Grand Trunk Road menghubungkan kawasan dari Bangladesh ke Pakistan saat ini. Sama seperti Jalan Daendels, infrastruktur itu awalnya dibangun demi kepentingan kolonial, namun kini menjadi tulang punggung ekonomi dan sosial negara-negara merdeka.
Perbandingan ini memberi perspektif bahwa warisan kolonial bukan sekadar artefak, melainkan medan kontestasi makna. Jalan bisa menjadi simbol penjajahan, tetapi juga dapat direbut kembali oleh masyarakat sebagai alat pembebasan. Brondong telah menunjukkan transformasi ini secara nyata.
Jalan, Laut, dan Kehidupan: Perspektif Multidisipliner
Dalam melihat Jalan Raya Daendels di Brondong, kita perlu menarik garis yang menghubungkan berbagai disiplin. Dari sisi sejarah, jalan ini adalah bagian dari kolonialisme. Dari sisi geografi, ini adalah infrastruktur strategis pesisir utara. Dari sisi ekonomi, ini adalah jalur distribusi utama produk perikanan. Dari sisi budaya, ini adalah ruang sosial yang membentuk identitas warga.
Pendekatan multidisipliner ini penting untuk memahami bahwa pembangunan jalan bukan hanya urusan teknis, melainkan juga narasi kemanusiaan. Jalan Daendels adalah kisah tentang bagaimana manusia bertahan dalam tekanan sejarah, dan bagaimana ruang bisa berubah makna tergantung siapa yang menggunakannya.
Di Persimpangan: Konservasi Sejarah dan Modernisasi
![]() |
Ilustrasi Jalan Raya Deandles dengan Kerja Rodi |
Tantangan kini adalah bagaimana menyeimbangkan modernisasi dengan pelestarian sejarah. Jalan ini masih aktif dan padat. Namun tidak ada penanda sejarah, tidak ada monumen yang menjelaskan bahwa ini adalah bagian dari Grote Postweg. Pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat perlu bekerja sama agar jalan ini tidak kehilangan makna historisnya.
Beberapa usulan telah disampaikan, seperti pembangunan museum mini tentang sejarah jalan, penambahan plakat informasi di titik-titik penting, dan pengembangan jalur wisata sejarah dari Lamongan hingga Tuban. Usulan ini bukan hanya tentang nostalgia, tetapi juga tentang membangun identitas lokal dan kesadaran sejarah di tengah arus globalisasi.
Menapak Jejak, Menatap Masa Depan
Ketika seorang anak muda di Kecamatan Brondong melintasi jalan ini dengan sepeda motor maupun yang menaiki angkutan umum untuk menuju sekolah, ia mungkin tidak tahu bahwa roda kendaraannya berputar di atas jalan yang dibangun dengan darah leluhurnya. Tapi kesadaran bisa tumbuh, lewat pendidikan, lewat literasi, dan lewat narasi seperti ini.
Jalan Raya Daendels adalah ruang lintas waktu. Ia menghubungkan masa lalu penuh luka dengan masa kini penuh asa. Ia mempertemukan ide-ide besar kolonialisme dengan semangat kecil masyarakat lokal yang terus bertahan.
Dan kini, jalan itu adalah milik rakyat. Dari jalan rodi, menjadi jalan rezeki. Dari luka sejarah, menjadi lorong harapan. Dari Brondong, jalan ini terus menyambung cerita bangsa dan negara. (Muhammad Zainul Arifin)
Post a Comment for "Jejak Panjang Jalan Raya Daendels di Brondong: Antara Luka Sejarah dan Nadi Ekonomi Pesisir”"