![]() |
CEO Danantara |
Namun, di balik megahnya peluncuran dan ambisi besar tersebut, muncul berbagai polemik dan pertanyaan dari berbagai kalangan. Apakah Danantara akan menjadi solusi strategis untuk mengoptimalkan aset negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi? Atau justru menjadi sumber baru dari birokrasi dan potensi penyimpangan?
Danantara dibentuk sebagai superholding yang mengelola aset-aset BUMN strategis, termasuk Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, Pertamina, PLN, dan Telkom Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengonsolidasikan kepemilikan pemerintah di BUMN, mengelola dividen, dan menginvestasikannya ke proyek-proyek strategis yang mendukung pertumbuhan jangka panjang.
Presiden Prabowo menyatakan bahwa investasi awal Danantara sebesar US$20 miliar atau sekitar Rp325 triliun akan dialokasikan ke lebih dari 20 proyek strategis, termasuk hilirisasi nikel, bauksit, tembaga, pengembangan kecerdasan buatan, kilang minyak, energi terbarukan, dan produksi pangan.
Salah satu kekhawatiran utama adalah terkait transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Danantara. Meskipun Presiden Prabowo menegaskan bahwa Danantara dapat diaudit kapan saja oleh siapa pun, termasuk KPK dan BPK, beberapa pihak meragukan efektivitas pengawasan tersebut. Hal ini diperparah dengan penunjukan Thaksin Shinawatra, mantan Perdana Menteri Thailand yang terlibat dalam berbagai skandal korupsi, sebagai anggota dewan penasihat Danantara.
Danantara diharapkan beroperasi secara profesional dan independen, namun struktur kepemimpinannya yang melibatkan tokoh-tokoh politik dan pengusaha dekat dengan kekuasaan menimbulkan kekhawatiran akan potensi intervensi politik dalam pengambilan keputusan investasi. Hal ini dapat mengganggu objektivitas dan efisiensi pengelolaan aset negara.
Dengan fokus investasi pada sektor-sektor strategis yang berisiko tinggi, seperti hilirisasi mineral dan pengembangan teknologi, terdapat kekhawatiran bahwa keputusan investasi yang kurang tepat dapat berdampak negatif terhadap keuangan negara dan kinerja BUMN. Fitch Ratings bahkan memperingatkan bahwa permintaan dividen yang lebih tinggi dari BUMN untuk mendanai Danantara dapat mempengaruhi profil kredit perusahaan-perusahaan tersebut.
Danantara sering dibandingkan dengan Temasek Holdings milik Singapura dan 1Malaysia Development Berhad (1MDB) milik Malaysia. Temasek dikenal sebagai SWF yang sukses mengelola aset negara secara profesional dan transparan, sementara 1MDB menjadi contoh kegagalan akibat korupsi dan mismanajemen.
Pertanyaannya, ke arah mana Danantara akan bergerak? Apakah akan meniru kesuksesan Temasek atau justru mengulangi kesalahan 1MDB? Jawabannya tergantung pada komitmen pemerintah dalam memastikan transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme dalam pengelolaan Danantara.
Polemik seputar Danantara mencerminkan dilema antara harapan dan keraguan. Di satu sisi, Danantara memiliki potensi besar untuk mengoptimalkan aset negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, berbagai kekhawatiran terkait transparansi, akuntabilitas, dan potensi intervensi politik menimbulkan pertanyaan apakah Danantara akan menjadi solusi atau justru menambah masalah baru.
Sebagai masyarakat, kita perlu terus mengawasi dan mengkritisi kinerja Danantara. Pemerintah harus memastikan bahwa Danantara dikelola secara profesional, transparan, dan akuntabel, serta bebas dari intervensi politik. Hanya dengan demikian, Danantara dapat menjadi instrumen yang efektif dalam mengelola aset negara dan mendorong pembangunan nasional.
Jika tidak, mungkin lebih baik kita "kabur aja dulu" daripada terjebak dalam janji-janji manis yang berakhir pahit. (Muhammad Zainul Arifin)
Post a Comment for "Danantara: "Kabur Aja Dulu? Investasi Aja Dulu? Atau Tonton Dulu?""