Pendidikan Politik Melalui Konvensi Capres: Pengalaman dan Pembelajaran

Bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang saya hormati,

Proses demokrasi yang tengah berlangsung ini seperti sebuah perahu besar yang berlayar di tengah lautan luas, penuh tantangan dan ketidakpastian. Angin yang berhembus begitu kencang, membawa para pemimpin partai politik, khususnya Pak SBY yang kini berada di kemudi Partai Demokrat, dalam perjalanan yang penuh dengan ujian. Tidak hanya angin, gelombang besar datang silih berganti, yang menguji ketahanan dan kecakapan sang nakhoda.

Saya masih ingat betul saat Pak SBY mengusulkan diadakannya konvensi capres. Saat itu, hati saya seperti bunga yang mekar dengan harapan. Inilah yang saya lihat sebagai peluang emas untuk memberikan pendidikan politik yang sejati kepada masyarakat, membuka jalan bagi pemimpin yang kompeten, bukan sekadar yang populer. Konvensi ini adalah proses yang sangat demokratis, sebuah tahapan yang menunjukkan bahwa Partai Demokrat, sebagai pemenang Pemilu 2009, memang layak memimpin. Mereka melakukan riset mendalam terhadap banyak tokoh nasional untuk memilih calon presiden yang benar-benar layak. "Jangan beri rakyat pemimpin yang seperti memilih kucing dalam karung," begitu kekhawatiran saya yang perlahan mulai mereda.

Begitu Pak SBY menabuh gong dimulainya konvensi ini, saya sangat antusias mengikuti prosesnya, sambil berdoa dengan tulus: "Ya Allah, berkahilah konvensi ini. Terima kasih atas pemimpin seperti Pak SBY yang membawa bangsa ini menuju kedewasaan berdemokrasi." Saya kemudian mengajak teman-teman dan kerabat untuk mendukung konvensi ini, meskipun mereka bukan bagian dari Partai Demokrat. Namun, ide brilian ini layak untuk didukung. Seperti kita tahu, konvensi yang terbuka untuk semua kalangan ini belum pernah ada sebelumnya di Indonesia, meski dulu pernah ada di Partai Golkar, namun itu terbatas pada internal partai saja.

Tapi, harapan itu mulai tergoyahkan saat nama-nama peserta konvensi diumumkan. Beberapa nama yang tak ada dalam riset sebelumnya mendadak muncul. Ini seperti tiba-tiba menemukan batu besar yang menghalangi jalannya perahu. Saya pun bertanya-tanya, kenapa mereka yang dipilih? Kenapa bukan tokoh lain yang lebih kompeten? Saya mencoba untuk tidak berburuk sangka, mungkin saja ada alasan teknis di balik itu.

Ketika konvensi dimulai di beberapa kota, rasa kecewa saya semakin besar. Liputan media yang seharusnya menggebu-gebu justru terkesan biasa saja, bahkan hampir tidak ada yang menonjol. Bayangkan, jika konvensi ini adalah pertunjukan teater, panggungnya tampak suram, tanpa ekspresi yang menggugah. Ini seperti sebuah pertunjukan yang dihadiri oleh penonton yang tidak terkesan, dan tentu saja media tidak akan tergugah untuk memberitakannya. Saya pun bertanya-tanya, apakah konvensi ini akan mampu menaikkan pamor Partai Demokrat yang sedang terpuruk? Mungkinkah akan ada kejutan besar di akhir konvensi, seperti yang diharapkan banyak orang?

Lebih jauh lagi, saya merasa janggal ketika jadwal debat kandidat bertabrakan dengan jadwal Pemilu Legislatif (Pileg). Ini seperti mengarungi lautan dengan kapal yang terlalu penuh, bertemu badai yang tak terhindarkan. Mengapa tidak memilih momen yang lebih tepat? Dengan memutuskan pemenang konvensi lebih cepat, partai bisa fokus dan tidak terbelah. Namun, saya tetap mencoba untuk berpikir positif, berharap ada strategi jitu dari Pak SBY yang akan terungkap pada akhirnya.

Lalu datanglah hasil Pemilu Legislatif yang mengecewakan. Demokrat terjun bebas, dan banyak pihak mencari kambing hitam. Tapi, ini adalah kenyataan yang harus diterima. Meskipun begitu, saya dan teman-teman masih yakin Pak SBY akan menemukan cara untuk menyelaraskan hasil Pileg dengan konvensi ini. Kami berharap Pak SBY bisa menggunakan pengalaman dan kebijaksanaannya untuk memutuskan langkah selanjutnya.

Namun, ketidakpastian semakin terasa saat tidak ada tanda-tanda keputusan yang jelas. Surat Pak SBY yang beredar di internal partai semakin menambah rasa pesimis. Ketidakpastian ini seperti gelombang yang tidak pernah reda, membuat kita ragu apakah Demokrat masih bisa bangkit. Saya dan teman-teman terus berharap, meskipun realitas politik semakin tak menentu.

Akhirnya, Rapimnas Demokrat berlangsung, dan keputusan untuk tidak berkoalisi atau mendirikan poros baru sangat mengecewakan. Kami merasa seolah-olah kapal Demokrat semakin tenggelam, tanpa ada arah yang jelas. Namun, saya dan teman-teman tidak menyerah begitu saja. Kita harus tawakkal kepada Allah dan menerima apapun yang terjadi.

Pemandangan malam itu, saat partai-partai lain mendeklarasikan koalisi mereka, adalah pemandangan yang penuh dengan penyesalan. Seandainya Demokrat bisa berada di sana, mengusung capres atau cawapresnya sendiri, betapa bangganya kami sebagai rakyat yang mencintai Pak SBY. Kami lebih baik berjuang meski kalah, daripada merasa kalah sebelum bertarung. Ada jutaan relawan yang siap mendukung, namun harapan itu pudar begitu saja.

Di akhir perenungan saya, saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada para peserta konvensi yang telah berjuang keras. Meskipun hasilnya belum menggembirakan, mereka telah berkompetisi dengan kapasitas mereka. Semoga konvensi berikutnya lebih baik, dengan agenda yang lebih jelas dan harapan yang lebih besar.

Muhammad Zainul Arifin
Salam dari kami : Dahlanis Indonesia

Post a Comment for "Pendidikan Politik Melalui Konvensi Capres: Pengalaman dan Pembelajaran"