![]() |
Monumen Van der Wijck |
CoretanPolitik - Di pinggir Kelurahan Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, berdiri sebuah saksi bisu yang nyaris tak terdengar lagi gaungnya.
Monumen Kapal Van der Wijck bangunan tua yang seharusnya menjadi mercusuar ingatan, kini terkulai seperti tubuh yang lupa napasnya.
![]() |
Kondisi lingkungan vanderwic yang kumuh tidak terawat |
Dulunya, monumen ini dibangun untuk mengenang karamnya Kapal Van der Wijck pada 20 Oktober 1936. Sebuah tragedi besar di perairan Laut Jawa yang merenggut lebih dari seratus jiwa. Di tengah kengerian itu, nama-nama seperti Martinus Jacobus Uyttermerk - operator radio yang tetap setia mengirimkan sinyal S.O.S hingga nafas terakhirnya terukir abadi dalam sejarah. Menurut koran "Bataviaasch Nieuwsblad", koran asal hindia yang terbit di tahun 1936 mengabarkan bahwa kapal tersebut tenggelam setelah meninggalkan surabaya dan kemudian diketahui bahwa lokasi tenggelamnya berada di perairan Lamongan tepatnya di wilayah Kelurahan Brondong.
![]() |
Surat Kabar "Bataviaasch Nieuwsblad" |
Namun hari ini, monumen itu berdiri seperti kapal karam untuk kedua kalinya, kali ini bukan oleh ombak, melainkan oleh kelalaian dan lupa.
Duka yang Membatu
Besi-besi karatan, cat yang mengelupas, bangunan yang kusam putih dekil, taman yang ditumbuhi semak liar, semua itu berbisik tentang sebuah bangsa yang perlahan melepaskan genggamannya atas sejarah.
![]() |
Gambar diambil penulis 28 April 2025 |
Di sisi lain dunia, reruntuhan Genbaku Dome di Hiroshima dipeluk seperti luka yang tidak boleh hilang. Di Belanda, kapal tua Batavia dirawat hingga menjadi kebanggaan nasional. Tapi di Kelurahan Brondong Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan Jawa Timur, Van der Wijck dibiarkan merana.
Siapa yang Harus Menjaga?
Sebetulnya, tanggung jawab untuk merawat Monumen Kapal Van der Wijck ini ada di tangan Pemerintah Kabupaten Lamongan, melalui dinas-dinas terkait seperti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, atau Dinas Pekerjaan Umum atau juga bisa PPN Brondong karena masuk kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara yang bertipe B (asumsi penulis sendiri).
Namun, entah karena anggaran, prioritas, atau sekadar abai, monumen ini lebih sering ditatap dengan pandangan kosong ketimbang disentuh dengan kasih. Padahal, tempat ini punya potensi menjadi lebih dari sekadar tumpukan besi tua.
Ada peluang besar untuk menghidupkannya kembali, bukan hanya untuk mengenang tragedi, tapi juga untuk menumbuhkan rasa bangga, belajar, dan membangkitkan ekonomi lokal.
Menghidupkan Van der Wijck
![]() |
Poster: Harapan dan keinginan penulis |
Bayangkan, suatu hari di Brondong Lamongan, sebuah Festival Maritim Van der Wijck digelar setiap tahun. Ada lomba perahu nelayan, pementasan teater tentang tragedi kapal karam, malam doa bersama di sekitar monumen.
Di sudut-sudut taman, anak-anak sekolah bisa mengikuti workshop sejarah maritim, mendengar kisah Van der Wijck melalui audio guide yang tersembunyi di balik kode QR kecil.
Di sekelilingnya, para ibu berdagang cendera mata bertema kapal: miniatur Van der Wijck, kaos, totebag.
Monumen itu hidup. Tidak lagi sepi. Tidak lagi terlupakan.
Bahkan restorasi monumen bisa menjadi bagian dari gotong royong tahunan warga Brondong, menguatkan rasa memiliki. Sebab saat sebuah tempat dirawat bersama, ia bukan hanya menjadi bangunan tua, tapi menjadi bagian dari denyut kehidupan itu sendiri.
Antara Melupakan dan Menghidupkan
Membiarkan monumen ini hancur perlahan, sama artinya dengan membiarkan sejarah kita tenggelam untuk kedua kalinya.
Sama seperti kapal tanpa kompas, bangsa yang lupa sejarahnya hanya akan terombang-ambing, lalu karam tanpa arah.
Mungkin perlu lebih dari sekadar perbaikan fisik. Monumen ini butuh "jiwa" cerita, peringatan, perayaan.
Kita dan Monumen Itu
Monumen Kapal Van der Wijck bukan sekadar potongan bangunan tua yang angker menyeramkan di Brondong. Ia adalah cermin.
Cermin yang menunjukkan siapa kita: bangsa yang menghormati jejak langkahnya, atau bangsa yang membiarkan kenangan suci terhapus oleh waktu.
Sebab sejarah bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dijaga, seperti seorang ibu menjaga anaknya, seperti pelaut menggenggam kompasnya di tengah badai.
Dan di Brondong Lamongan, kompas itu perlahan kehilangan jarumnya.
Pertanyaannya kini sederhana, namun menentukan: apakah kita akan membiarkannya? - Muhammad Zainul Arifin
Post a Comment for "Van der Wijck: Monumen yang Menangis di Tengah Brondong"